loading...
AGAMA DAN POLITIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
ABSTRAK
Dalam perkembangan politik Indonesia, agama memegang
peranan yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja, dimana symbol
symbol keagamaan masih memegang peranan dalam bidang politik. Agama
berbondong-bondong meraih peran dalam dunia perpolitikan dan dunia
perpolitikan juga meraih dukungan dari agama. Hanya saja dalam kondisi
masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia ini, peranan agama tidak
selalu memberikan kontribusi positif dalam dunia perpolitikan ini.
Selain berkaitan dengan agama, politik juga berkaitan dengan ekonomi,
sehingga dunia politik Indonesia itu memiliki hubungan segitiga antara
politik, ekonomi dan agama.
BAB I
PENDAHULUAN
Penulis melihat kenyataan kehidupan sebagai warga negara
Indonesia ini penuh dengan intrik politik dan ironisnya institusi agama
yang seharusnya memajukan dan memanusiakan manusia terlibat dalam intrik
politik, yang mana pada masa modern ini, institusi agama di banyak
negara tidak memiliki peranan begitu nyata dalam dunia perpolitikan.
Jika hal tersebut dibiarkan terus di Indonesia ini, maka kemajemukan
masyarakat akan terancam dan akhirnya bisa menuju perpecahan. Mengurai
benang kusut yang melilit antara agama, politik dan ekonomi memang amat
sulit, apalagi di Indonesia ini.
Dalam sejarah peradaban manusia, agama memegang peranan penting dalam
kehidupan masyarakat juga dalam masalah perpolitikan negara. Tidak
dapat dipungkiri kerajaan-kerajaan dan institusi agama pada jaman dahulu
membentuk hubungan mutualisme simbiosis, yang mana kerajaan menjamin
keberlangsungan institusi agama dan institusi agama memberikan
pengesahan bagi kerajaan tersebut. Tapi dalam perkembangan modern, agama
mulai ditinggalkan dan symbol-simbol keagamaan digantikan dengan
symbol-simbol negara.
Terjadinya intrik politik yang terkait dengan agama juga
membuat penulis menjadi tertarik akan hal itu, dan interaksi fungsional
maupun konflik merupakan makanan sehari-hari dalam kancah perpolitikan
di Indonesia ini. Tentunya agama memiliki pengaruh positif terhadap
kehidupan individu tapi saat bergandengan dengan politik, maka bisa
menimbulkan ekses-ekses negatif. Pemberangusan kebebasan beragama atas
nama mayoritas bisa terjadi atau juga kemunafikan berjamaah yang amat
seru bisa disaksikan pada saat upacara pengambilan sumpah yang
menggunakan kitab suci terhadap para pejabat publik. Ada benarnya jika
Sudjiwo Tedjo sudah muak dan mengusulkan sumpah yang menggunakan kitab
suci diganti dengan sumpah pocong. Ini menunjukkan betapa agama sudah
menjadi topeng bagi manusia yang rakus.
Selain masalah kemunafikan juga bicara masalah kekuasaan, sebagai
contoh adalah ketika PDI-P memenangkan pemilu 1999. Megawati sebagai
ketua partai dijegal habis-habisan dengan issue agama, mulai dari
pemimpin wanita yang tidak diperkenankan oleh agama tertentu hingga
issue-issue agama yang menerpa para tokoh partai tersebut. Akhirnya
jegal menjegal itu menjadi dasar untuk politik dagang sapi dan “Poros
Tengah” sebagai pelopor untuk menaikkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
sebagai presiden. Istilah poros tengah yang seolah-olah netral
sebenarnya memiliki nuansa politisasi agama sebagai tameng untuk
melakukan pemaksaan kehendak dari kelompok-kelompok tertentu yang
bernafaskan agama.
Situasi perpolitikan di Indonesia ini amat sarat dengan intrik yang
berbalut agama, sudah mengganggu proses kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sehat. Apa yang akan ditulis adalah hubungan antara
politik, ekonomi, agama, dimana penulis akan melihatnya mulai dari
Undang-undang Dasar 45 dan Pancasila sebagai dasar Republik Indonesia
ini, kemudian melihat kondisi dan hubungan yang berkembang dalam
masyarakat pluralis ini.
BAB II
AGAMA POLITIK DAN EKONOMI DI INDONESIA
Sebelum membahas masalah agama, politik dan ekonomi di
Indonesia, penulis akan menuliskan definisi tentang hal-hal tersebut di
atas.
Menurut Lorens Bagus, agama memiliki arti
: “Secara khusus istilah agama menunjuk pada sebuah institusi ( lembaga
) dengan sekelompok orang-orang yang berkumpul secara teratur untuk
suatu ibadat dan menerima seperangkat ajaran yang menawarkan cara
menghubungkan individu dengan sesuatu yang dipandang sebagai hakikat
terdalam, tertinggi kenyataan.”[1]
Banyak orang yang beranggapan bahwa agama memberikan kontribusi positif
dalam masyarakat, itu memang bisa terjadi, tapi peran agama juga bisa
memberikan kontribusi negative dan perpecahan. Bertentangan dengan
beberapa ahli teori, agama tidak hanya memainkan peranan yang
integrative dan menciptakan harmoni sosial saja dalam masyarakat, tapi
juga peranan memecah.[2] Membaca pendapat ini, Geertz secara jelas melihat bahwa agama bisa membawa disintegrasi, seperti yang kita lihat sekarang ini.
Agama merupakan lembaga produksi
kekuasaan-pengetahuan yang dahsyat, terutama dalam masyarakat seperti di
Indonesia. Dia tidak bisa dilepaskan dari mekanisme dan teknik
kekuasaan normatif dan disipliner[3].
Bahkan pada awal kemerdekaan, gejala perpecahan tampak pada saat ada
tekanan untuk melaksanakan “Piagam Jakarta”, tapi untungnya mendapatkan
perlawanan dan hati besar para bapak bangsa yang menempatkan persatuan
bangsa jauh lebih penting daripada sekedar syariat Islam yang harus
dipaksakan.
Politik memiliki beberapa pengertian[4] :
- Apa yang berhubungan dengan pemerintahan
- Perkara mengelola, mengarahkan, dan menyelenggarakan kebijaksanaan umum dan keputusan-keputusan atau kebijaksaan yang menyangkut partai-partai yang berperan dalam kehidupan bernegara.
- Bidang studi yang berkaitan masalah-masalah sipil-sosial dan mengembangkan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah-masalah tersebut.
- Aktifitas yang berkaitan dengan relasi-relasi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok sosial lainnya, yang berhubungan dengan perkara penggunaan kekuasaan negara.
Politik merupakan bagian dari etika yang berurusan dengan manusia dalam kegiatan kelompok.[5]
Ekonomi adalah sebuah ilmu sosial yang obyeknya ialah
sumber-sumber yang langka, terbatas di satu pihak, dan keinginan atau
kebutuhan yang tidak terbatas di lain pihak.[6] Menurut Albert L. Meyers ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia.[7]
Indonesia menggunakan istilah ekonomi Pancasila dan
demokrasi Pancasila sebagai basis penggerak negara. Istilah ekonomi
Pancasila sendiri menurut penulis amat rancu, karena melihat bahwa basis
ekonomi Indonesia sendiri berdasarkan liberalism pasar bebas. Hal ini
bisa dilihat dari isi UUD 1945 pasal 33 yang terdiri dari tiga ayat
sebagai berikut :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dengan dasar dari UUD 1945 serta Pancasila, para pemimpin bangsa
mencoba merumuskan ekonomi yang khas Indonesia, misalnya Moehammad Hatta
yang menggagas konsep koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia.
Sedangkan yang dimaksud dengan demokrasi Pancasila, kurang lebih juga sama berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
Secara ringkas, demokrasi Pancasila memiliki pengertian sebagai berikut [8]:
1.Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan
dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang
mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran,
kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan
berkesinambungan.
2. Dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
3. Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial.
4. Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.
2. Dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
3. Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial.
4. Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.
Apa yang dibuat oleh para bapak bangsa Indonesia dalam
mendefinisikan serta membuat konsep ekonomi dan politik memang indah dan
baik, tapi dalam praktek sering melenceng, sebut saja “Demokrasi
terpimpin” yang dicanangkan oleh Soekarno dan “Demokrasi Pancasila” yang
dikumandangkan oleh Soeharto. Dalam prakteknya, peran agama tidak dapat
dihapuskan begitu saja dan dikotomi mayoritas-minoritas melekat,
apalagi agama yang digaungkan sebagai semangat yang mendasari semua
aspek kehidupan, sehingga pada awal proses kelahiran republic ini juga
terjadi benturan yang mengatas-namakan agama. “Piagam Jakarta”[9]
adalah contoh yang tidak lekang hingga hari ini, tidak kurang dari
beberapa tokoh, seperti Yusril Ihza Mahendra yang hendak menghidupkan
kembali “Piagam Jakarta” menunjukkan bahwa agama tidak begitu saja bisa
lepas dari factor politik, karena kata “secular” adalah kata yang tabu
bagi beberapa kelompok tertentu. Padahal pasal tentang agama juga ada
dalam UUD 1945 pasal 29, yang isinya sebagai berikut :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Agama juga menjadi bagian dari politik dengan dibentuknya departemen agama[10]
setelah berdirinya Republik Indonesia dengan berbagai direktorat
jendral seperti ditjen Bimas Hindu Buddha, ditjen Bimas Kristen, ditjen
Bimas Islam, yang menunjukkan peran negara dalam urusan agama. Dan untuk
urusan ekonomi, “Pada dasarnya merupakan ekonomi yang dijalankan oleh
dunua usaha swasta walaupun perlu diatur oleh negara” (Widjojo
Nitisastro. “The Socio-Economic Basis of the Indonesian State”, 1959 ).[11] Dengan melihat ini maka negara, sebagai lembaga politik memiliki peranan penting dalam ekonomi dan agama di Indonesia.
Ada semacam pandangan di masyarakat tentang tiga hal tersebut diatas,
bahwa ada suatu pandangan yang berkembang di masyarakat bahwa presiden
Republik Indonesia itu sebaiknya orang Jawa, pelaku ekonomi adalah orang
Tionghoa dan mayoritas penduduk Indonesia adalah orang Islam. Tentunya
ada yang benar bahwa penguasaan distribusi ekonomi dan industry berada
di tangan orang Tionghoa, dan benar adanya bahwa mayoritas penduduk
Indonesia adalah orang Islam. Ada hal yang perlu digaris-bawahi, bahwa
tidak semua wilayah Republik Indonesia ini orang Muslim menjadi
mayoritas, sebut saja Bali, kepulauan Nias, Nusa Tenggara Timur, Menado,
orang Muslim tidak menjadi mayoritas. Untuk bidang ekonomi, benar
adanya bahwa orang Tionghoa menguasai lini distribusi dan banyak
industry yang dikuasai oleh mereka. Tapi ada satu permasalahan yang
dilupakan adalah peranan BUMN dalam roda perekonomian serta investor
asing, seperti Toyota Astra yang awalnya merupakan perusahaan gabungan
antara pengusaha swasta Tionghoa dengan Toyota Motor dari Jepang[12].
Presiden Indonesia sendiri ada yang berasal dari Makasar, yaitu B.J
Habibie yang menjabat presiden, menggantikan Soeharto yang lengser pasca
kerusuhan Mei 1998. Jika ditarik ke masa 1945-1950, maka ada dua
presiden yang bukan orang Jawa, yaitu Assaat, kelahiran Sumatara Barat,
selaku pejabat sementara presiden dan Sjarifuddin Prawiranegara,
kelahiran Banten, yang juga sebagai pejabat presiden “Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia”.[13]
Dengan begitu, pandangan masyarakat akan penguasa ekonomi, pejabat
presiden dan adanya wilayah kaum mayoritas beragama, perlu ditelaah
ulang.
BAB III
HUBUNGAN ANTARA INSTITUSI AGAMA, POLITIK DAN EKONOMI
Agama bisa dikatakan membentuk subjektifitas individu dan akan
mempengaruhi pandangan individu itu tentang politik, ekonomi dan agama
itu sendiri. Perlu disadari bahwa agama menjadi soko guru ekonomi dan
politik selama berabad-abad, kemudian sekularisme, liberalisme
berkembang dan memisahkan agama dengan negara. Dalam bentuk masyarakat
liberal, merupakan masyarakat yg terbuka, lingkungan yang bebas dan
toleran, yang memberikan rentang pengejaran tujuan hidup seluas mungkin
bagi anggotanya, serta konsisten dengan prinsip kesetaraan dalam
memberi peluang bagi semua orang. Rawls berpendapat bahwa nilai dasar
(kebebasan, hak, kesempatan, pendapatan, milik, dan hormat) dijamin
dalam masyarakat plural dengan mengakui prinsip kebebasan dan perbedaan.
Sebenarnya bangsa Indonesia juga mengenal “Bhinneka Tunggal Ika” yang
semestinya bisa menerima dan menampung masyarakat majemuk.
Sarekat Dagang Islam bisa menjadi satu contoh awal bagaimana agama,
politik dan ekonomi bergerak menjadi satu kekuatan politik di dalam
sejarah pergerakan bangsa Indonesia. Dalam tulisan Benny G Soetiono
tentang Sarekat Dagang Islam bisa membuka satu sisi yang lain,
“Berdirinya Sarekat Dagang Islam yang diprakarsai Tirto Adhi Soerjo
sebenarnya bukan bertujuan untuk melawan para pedagang Tionghoa yang
dianggap menjadi pesaing utama para pedagang Islam. SDI kemudian berubah
menjadi Sarekat Islam dan berkembang dengan pesat sehingga anggotanya
mencapai setengah juta orang. Dalam perkembangannya SI menjadi
organisasi yang militan pada masa itu dalam berjuang melawan penjajahan
Belanda. Untuk mengalihkan konflik, pemerintah kolonial Hindia Belanda
melakukan politik adu domba dan berusaha membenturkan
kepentingan-kepentingan pedagang-pedagang Islam yang dipelopori
pedagang-pedagang Arab dengan pedagang-pedagang Tionghoa yang menjadi
saingan utamanya. Persaingan antara pedagang-pedagang batik dan rokok
kretek Arab dengan pedagang-pedagang Tionghoa sengaja dihembus-hembuskan
oleh pemerintah kolonial Belanda dengan para penasihatnya dari Biro
Urusan Bumiputera, Terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara kedua
kelompok pedagang tersebut yang mencapai puncaknya pada "Peroesoehan di
Koedoes".”[14]
Sarekat Dagang Islam bisa dikatakan adalah suatu gerakan yang
berbasiskan agama, politik dan ekonomi, sedangkan pemerintahan colonial
Belanda yang menggunakan kaum Tionghoa sebagai bemper untuk mengeruk
kekayaan harus mempertahankan status quo sebagai penguasa dan
menggunakan perpanjangan tangan kaum Tionghoa itu perlu melakukan suatu
tindakan pelemahan terhadap tindakan-tindakan politis yang bisa
merongrong kekuasaan Belanda di Indonesia. Pola ini juga digunakan oleh
Orde Baru dengan memberikan privilege kepada beberapa konglomerat
Tionghoa sebagai sapi perah dan kasir rezim Orde Baru, tapi di sisi lain
selalu menebarkan kebencian di kalangan grass root terhadap etnis
Tionghoa sebagai pelaku yang menghisap kekayaan Indonesia.
Di saat menjelang kemerdekaan, dibuat rumusan mengenai isi Pancasila,
Soekarno menggagas Pancasila dengan tidak menempatkan unsur religious
di urutan pertama dan tidak menggunakan kata “Yang Maha Esa” tapi
menggunakan “Yang Berkebudayaan”. Namun begitu, penting untuk mengetahui
bahwa Soekarno juga mengusulkan redaksi yang berbeda dengan yang kita
baca sekarang mengenai sila ketuhanan itu. Yang diusulkan Soekarno
adalah “Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti
yang luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain.” [15]
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya terselip pesimisme dari Soekarno sendiri jika negara yang akan dibentuk itu terlalu kental dengan nuansa agama. Pesimisme itu kemudian tampak nyata di kemudian hari. Hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana sila pertama digunakan oleh sejumlah kalangan untuk membatasi kebebasan beragama. Sila pertama digunakan untuk mendiskriminasi yang lain.[16] Contoh yang menimpa pertama kali adalah terhadap agama Hindu, pembentukan ditjen Hindu Buddha di Departemen Agama harus melalui perjuangan, tidak serta merta dimasukkan sebagai agama. Di website resmi Ditjen Hindu Buddha ditulis secara jelas bahwa “Dalam periode ini pula di Bali timbul suatu reaksi, didasari oleh karena agama Hindu Bali itu dianggap sebagai suatu aliran/kepercayaan, sehingga timbul perjuangan untuk menyatakan agama Hindu sebagai agama bukan sebagai aliran, sehingga tahun 1952 khususnya untuk penduduk yang beragama Hindu di Bali oleh pemerintah daerah Bali dengan membentuk kantor Dinas Urusan Agama Otonomi. Umat Hindu di Bali tidak ada hentinya untuk terus mengupayakan serta mengusahakan dan memohon kepada pemerintah agar Agama Hindu diberikan tempat di lingkungan Departemen Agama RI. Tuntutan ini baru terlaksana pada tahun 1960 dengan dibentuknya bagian Urusan Hindu Bali pada Departemen Agama Republik Indonesia.”[17] Jadi pesimisme Soekarno sudah terbukti dengan kasus yang menimpa agama Hindu. Apakah penerapan konsep monotheisme dalam Pancasila hanya bernuansa agama ? Bagi penulis, selain bernuansa agama juga bernuansa politik. Karena dengan menempatkan monotheisme dalam Pancasila, maka kekuasaan politis sudah didapat oleh agama-agama montheisme yang mana nantinya akan menjadi dasar hukum tentang agama di Indonesia. Akibatnya adalah termarjinalkannya agama-agama rakyat atau agama-agama asli penduduk di banyak tempat di Indonesia.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya terselip pesimisme dari Soekarno sendiri jika negara yang akan dibentuk itu terlalu kental dengan nuansa agama. Pesimisme itu kemudian tampak nyata di kemudian hari. Hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana sila pertama digunakan oleh sejumlah kalangan untuk membatasi kebebasan beragama. Sila pertama digunakan untuk mendiskriminasi yang lain.[16] Contoh yang menimpa pertama kali adalah terhadap agama Hindu, pembentukan ditjen Hindu Buddha di Departemen Agama harus melalui perjuangan, tidak serta merta dimasukkan sebagai agama. Di website resmi Ditjen Hindu Buddha ditulis secara jelas bahwa “Dalam periode ini pula di Bali timbul suatu reaksi, didasari oleh karena agama Hindu Bali itu dianggap sebagai suatu aliran/kepercayaan, sehingga timbul perjuangan untuk menyatakan agama Hindu sebagai agama bukan sebagai aliran, sehingga tahun 1952 khususnya untuk penduduk yang beragama Hindu di Bali oleh pemerintah daerah Bali dengan membentuk kantor Dinas Urusan Agama Otonomi. Umat Hindu di Bali tidak ada hentinya untuk terus mengupayakan serta mengusahakan dan memohon kepada pemerintah agar Agama Hindu diberikan tempat di lingkungan Departemen Agama RI. Tuntutan ini baru terlaksana pada tahun 1960 dengan dibentuknya bagian Urusan Hindu Bali pada Departemen Agama Republik Indonesia.”[17] Jadi pesimisme Soekarno sudah terbukti dengan kasus yang menimpa agama Hindu. Apakah penerapan konsep monotheisme dalam Pancasila hanya bernuansa agama ? Bagi penulis, selain bernuansa agama juga bernuansa politik. Karena dengan menempatkan monotheisme dalam Pancasila, maka kekuasaan politis sudah didapat oleh agama-agama montheisme yang mana nantinya akan menjadi dasar hukum tentang agama di Indonesia. Akibatnya adalah termarjinalkannya agama-agama rakyat atau agama-agama asli penduduk di banyak tempat di Indonesia.
Dalam kancah perpolitikan Indonesia, agama juga bertarung di kancah
politik. Partai Katholik, Partindo, Masyumi, partai Nahdatul Ulama,
adalah contoh partai yang berbasiskan agama di masa Orde Lama, sedangkan
di masa Orde Baru, partai Katolik dan Kristen dilebur ke dalam Partai
Demokrasi Indonesia, partai Islam dilebur kedalam Partai Persatuan
Pembangunan. Pertarungan antara partai agama non Islam biasanya
berkoalisi dengan partai-partai nasional sebagai penyeimbang
partai-partai Islam[18]
dan pola ini bisa kita lihat pada masa Orde Baru, dimana PDI dan PPP
saling bersaing, dan Golkar tidak terkalahkan dalam pemilu yang berat
sebelah pada masa Orde Baru.
Ekonomi merupakan salah satu soko guru pembangunan, karena tanpa
adanya kekuatan ekonomi, maka institusi politik dan agama juga tidak
dapat berkembang, dan juga pelaku ekonomi memerlukan perlindungan dari
pelaku politik maupun agama. Ketiga hal itu tidak dapat dipisahkan dan
saling terkait dalam masyarakat Indonesia, terutama sekarang ini. “Money to buy power, power to buy money”
sangat tepat menggambarkan hubungan antara kekuasaan dan uang, dimana
kekuasaan itu tidak selalu kekuasaan yang bersifat politis, juga
bersifat agamis dan ekonomi ( uang ) juga merupakan bentuk kekuasaan.
Ekonomi juga menjadi salah satu sorotan penting institusi agama.
Kapitalisme dikaitkan dengan Kristen Protestan. Tulisan Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan
keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika Protestan
tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan oleh Calvin, yang menyatakan
seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka.
Keberhasilan kerja dan kemakmuran saat di dunia menentukan apakah masuk
surga atau neraka. Jika seseorang sukses secara materi maka hampir dapat
dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika
sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat
diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka. Karena itu amat
wajar jika kapitalisme dikaitkan dengan agama Protestan. Sedangkan
Islam juga menganut system ekonomi menurut syari’at agama. Hukum yang
mengatur hubungan antar sesame manusia digolongkan dalam bab mu’amalah.[19]
Yang mana mempengaruhi pula pertentangan antara agama Kristen dan Islam
di bidang ekonomi. Kristen sendiri tidak memiliki konsep ekonomi
seperti Islam yang jelas, sehingga banyak kaum Muslim yang berpatokan
pada Al Quran dalam membangun konsep ekonominya. Sebagai contoh adalah
riba. Riba, apapun bentuknya, dalam syari’at Islam hukumnya haram.[20]
Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan
menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen
(abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana
Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan
pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang
menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.[21]
Untuk masalah agama dan politik bisa kita telaah tentang Inpres
14/1967 yang dikeluarkan oleh Soeharto tentang agama dan kepercayaan
orang Tionghoa Yang merupakan bentuk pertarungan politik antara dua
kelompok yang kemudian lari ke masalah agama. Anggota LPKB selaku
penggagas asimilasi dan Baperki yang mendukung integrasi bertarung di
ranah politik dan kejadian G30S mengakhiri Baperki. Pertarungan antara
dua kelompok di bidang politik merambah hingga masalah kepercayaan. Ada
satu hal menarik adalah pengaruh Inpres 14/1967 memberrikan sumbangan
terhadap perkembangan agama Kristen Katolik dikalangan etnis Tionghoa
yang melejit pasca G30S. Sindhunata mengaku secara gambling bahwa ia
yang mengusulkan kepada presiden Soeharto agar seluruh tradisi, adat
istiadat, kepercayaan, dan agama etnis Tionghoa dilarang di Indonesia.[22]
Pada masa Orde Baru terjadi sinergi antara orang Tionghoa yang
beragama Katolik dengan politik yang jelas terpapar. Benny G Soetiono
menulis :
Sementara itu para tokoh peranakan Tionghoa yang pada
umumnya berkerumun di sekitar Partai Katholik/PMKRI/LPKB di bawah
koordinasi Pater Beek dan dukungan Mayjen Ali Moertopo dan Mayjen
Soedjono Hoemardani - keduanya pimpinan Operasi Chusus (Opsus) dan
Asisten Pribadi (Spri/Aspri) Presiden Soeharto - pada 1 September 1971
mendirikan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Lembaga inilah yang dijadikan "think tank", peletak dasar konsep
pemerintahan dan kebijaksanaan politik Orde Baru.[23]
Setelah CSIS berdiri, banyak tuduhan bahwa CSIS ini berperan menekan
kaum Muslim di berbagai bidang dan mengutamakan kemajuan ekonomi pada
kelompok Tionghoa. Sehingga pada masa kejatuhan Orde Baru, CSIS sering
diejek dengan sebutan “Cina Senang Indonesia Susah”. Untuk mengurai
peranan pater Beek dan CSIS ini terus-terang amat sulit mendapatkan
data-datanya, sehingga apa yang tersebar adalah rumour, tapi seandainya
benar sekalipun, maka ini adalah covert operation intelejen yang
tertutup, maka adalah hal yang wajar jika data-data itu tidak tersedia.
Pandangan kaum muslim fundamentalis terhadap CSIS dan Benny Moerdani
yang diasosiakan sebagai kelompok Kristen Katolik sebagai pelaku
penindas agama Islam di Indonesia meninggalkan bomb waktu yang meledak
pada masa reformasi dan pasca reformasi. Jejak-jejak itu dapat dilihat
betapa kerasnya kaum muslim terhadap umat Kristiani dan pembenaran
tindakan radikal mereka itu salah satunya adalah alasan bahwa CSIS
sebagai lembaga think-tank orde baru adalah Katolik. Dampak lainnya
adalah, jika pada masa awal Orba terjadi kerusuhan rasial yang menimpa
etnis Tionghoa, tidak terdengar adanya pembakaran gereja, tapi di tahun
1990an, kerusuhan rasial itu disertai dengan pembakaran gereja. Sehingga
pada tahun 1990 lahir Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia ( ICMI ) yang
kemudian menjadi batu sandaran Soeharto berkuasa. Penulis beranggapan
bahwa ICMI dibentuk karena adanya suatu upaya dari kaum muslim untuk
merebut pengaruh di bidang politik, kebetulan pada tahun 1980an akhir
dan 1990an awal, kekuatan Soeharto sudah mulai melemah dan untuk
mempertahankan status quo, Soeharto harus mencari dukungan kaum muslim.
Tapi sebagai catatan, tidak semua orang Islam setuju dengan ICMI, salah
satunya adalah ketua umum Pengurus Besar Nahdatulul Ulama, K.H
Aburrahman Wahid yang mengkritik keras pembentukan ICMI.[24]
Pertarungan elit politik yang merambah di berbagai
bidang, memicu kekerasan fisik yang diselubungi agama tapi isinya adalah
kepentingan ekonomi. George Aditjondro dalam konflik Ambon atau Maluku
mengupas adanya kepentingan ekonomi dibaliknya. Dalam tulisan Geoge J
Aditjondro “Orang-Orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku”[25] menuliskan
bahwa konflik Ambon atau Maluku bermuasal dari perebutan politik tahun
1999 dan ada yang menarik adalah ternyata orang Maluku menghargai
kemajemukan beragama, terutama Kristen dan Islam yang bisa berdampingan
tapi dirusak oleh kepentingan politik dan uang. Kondisi pertarungan
politik dan agama serta kepentingan ekonomi merusak kemajemukan
Indonesia ini. Lihat tindakan Front Pembela Islam yang terkesan setengah
hati menindak kemaksiatan di Mangga Besar, Jakarta. Hal itu tidak luput
dari setoran bawah meja dan tidak diekspos oleh mass media, pembiaran
FPI juga digunakan sebagai unsur “masyarakat” untuk memukul kelompok
lain, terutama jika ada kelompok yang beragama Kristen atau kaum kiri (
Marxist ) yang sekarang sudah berani tampil di Indonesia. Kasus
pelarangan “Cap Gome” di Ciamis beberapa waktu yang lalu dan tidak
diliput oleh mass media juga terkait dengan masalah ekonomi, rumour
mengatakan bahwa setoran tidak diberikan kepada kelompok tersebut. Tentu
berbeda dengan di Bandung, dimana FPI mendukung perayaan Capgome,
dimana ada bisik-bisik yang mengatakan karena FPI mendapat setoran. Jadi
dari kasus FPI bisa terlihat adanya kepentingan politik dan ekonomi
yang menggunakan nama agama dan pembiaran itu terjadi karena adanya
mutualisme simbiosis antara kelompok tersebut dengan elit politik.
Selain FPI, partai-partai politik, baik yang nasionalis maupun berbasis
agama, berupanya melakukan penguasaan bidang-bidang ekonomi, baik
melalui kolusi, korupsi. Karena seperti yang dipaparkan oleh penulis di
atas, tanpa adanya uang dan penguasaan ekonomi, maka politik akan lemah,
institusi agama juga menjadi lumpuh. Karena itu, tidak mengherankan
jika agama maupun politik dalam bentuk institusinya berupaya dengan
segala cara merebut akses perekonomian.
Orde Baru yang melahirkan CSIS dan ICMI melahirkan
konflik horizontal yang tidak terasa saat itu tapi buahnya kita rasakan
sekarang ini, sedangkan sekarang ini banyak daerah yang karena adanya
otonomi daerah melahirkan perda yang berbasiskan syariah Islam,
sebenarnya itu hanya demi meraih populasi dengan menjual agama. Kasus
Perda No.8 Tahun 2005 kota Tangerang yang melarang wanita keluar malam
juga memancing kekisruhan dan rasa tidak nyaman bagi kaum wanita,
terutama masalah busana bagi kaum non Muslim, selain itu juga bisa
menjadi upaya pengalihan issue yang penting, seperti kesejahteraan
masyarakat jauh lebih penting daripada sekedar remeh temeh yang terkait
dengan busana.
Kita bisa melihat betapa perebutan dan upaya
mempertahankan kekuasaan sudah mendarah daging dalam peradaban manusia,
sehingga Indonesia sendiri tidak bisa luput dari hal itu. Hubungan
antara agama, politik dan ekonomi tidak bisa dipisahkan begitu saja,
interaksi simbolisme bisa terjadi dengan mudah, seperti ICMI yang
dikaitkan dengan Islam, padahal tidak semua muslim setuju, begitu pula
CSIS yang segelintir tokohnya non muslim dan dari etnis Tionghoa bisa
melahirkan konflik dan derita di kalangan rakyat jelata yang tidak tahu
menahu perilaku para tokoh tersebut, yang mana konflik itu disebabkan
issue-issue yang dihembuskan oleh para tokoh yang menentang CSIS. Dan
sekarang issue yang lebih parah lagi timbul, Tionghoa adalah Kristen,
yang mana akan menyengsarakan Tionghoa non Kristen karena stigma yang
dilekatkan itu.
Pancasila dengan sila KeTuhanan Yang Maha Esa, menurut
penulis adalah kolaborasi antara agama dan politik, dalam hal ini adalah
agama samawi ternyata juga meninggalkan torehan luka mendalam bagi para
penganut agama-agama rakyat. Hak-hak beragamanya dilenyapkan dan
dipaksa menerima Tuhan Yang Maha Esa, bisa dibayangkan bagaimana
kepercayaan suku Dayak yang polytheisme itu harus menganut monotheisme,
atau agama Buddha yang menganut nontheisme terpaksa mengadopsi konsep
KeTuhanan Yang Maha Esa itu. Ini sudah sangat jelas tidak sesuai dengan
masyarakat Indonesia yang majemuk juga dengan Bhinneka Tunggal Ika.
KESIMPULAN
Peran agama dalam kehidupan manusia pasti mengandung
nilai positif dan juga memiliki kuasa untuk tindak tertentu yang mana
agama memiliki kecenderungan orang menjadi memilih. Politik yang
memiliki kekuatan mengatur negara juga memiliki kekuasaan yang bisa
menyebabkan adanya tindakan tertentu, begitu juga ekonomi. Sebenarnya ke
tiga hal itu memiliki kekuatan yang bisa mengubah manusia, tapi agama
lebih memiliki power yang transenden ( tidak terbatas ), untuk itu
manusia wajib menggunakan rasionalitas dalam memahami agama. Politikus
perlu dibatasi demi politik yang sehat dan ekonomi juga perlu ada
rambu-rambu yang baik. Jika dilihat, sebenarnya pertarungan politik dan
yang melibatkan agama di Indonesia ini bisa dikatakan pertarungan
terselubung antara institusi Islam dan insitusi Kristen yang
bekerja-sama dengan kaum nasionalis untuk memperebutkan supremasi di
bidang politik dan pelaku ekonomi terseret juga bisa menyeretkan diri
mereka dalam pertarungan ini. Akibatnya kemajemukan bangsa Indonesia
menjadi kabur dan tidak jelas, tujuan negara Indonesia yang salah satu
tujuan utamanya adalah memakmurkan rakyat Indonesia menjadi
tersendat-sendat.
Sudah selayaknya negara dan agama dipisahkan secara tegas, jangan ada
campur tangan agama ke dalam politik. Tempatkan agama sebagaimana
layaknya sebagai inspirator bagi individual dalam mengembangkan
kemanusiaan yang bersifat horisontal. Semua agama memiliki nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat horisontal dan juga kelahiran awalnya adalah
kritik sosial atas ketimpangan sosial yang terjadi masa itu. Agama
Kristen mengajarkan cinta kasih yang mewajibkan kita menolong sesama,
demikian juga agama Islam yang memiliki nuansa yang sama. Sudah saatnya
menepiskan kepentingan golongan demi kemajemukan bangsa yang berasaskan
Bhinneka Tunggal Ika.
Pemerataan ekonomi juga layak diterapkan, jangan terjadi pembagian
kue ekonomi yang tidak adil, ini adalah salah satu tugas para
politikus, kaum agamawan maupun pelaku ekonomi itu sendiri. Audit
terbuka harus dilakukan terhadap semua lembaga yang bersifat politis,
agamis untuk melacak dana-dana yang didapatkan. Apakah secara sah
didapatkan atau dengan cara-cara kotor. Ini dengan tujuan agar tidak
terjadi praktek ekonomi kotor yang menjadi sumber-sumber dana untuk
kegiatan yang merusak kemajemukan masyarakat Indonesia.
Untuk tindak kekerasan yang berselubung SARA, sudah selayaknya KUHP
pasal 156 a maupun b diterapkan dengan tegas, tidak perlu
berputar-putar. Negara perlu tegas terhadap pelaku lapangan dan juga
menangkap actor-aktor dibaliknya. Hapuskan budaya “agama politik”,
karena era dunia sudah berbeda, bukan lagi saatnya melakukan
homogenisasi di dunia yang heterogen seperti yang dahulu dilakukan oleh
agama-agama manapun yang ada di dunia ini, hidupkan semangat “agama
kemanusiaan”. Berbeda itu indah, melangkah itu tidak selalu dengan
mendongakkan kepala tapi melihat ke depan dan ke samping. Maksudnya
adalah hubungan vertical antara manusia dengan Tuhan adalah urusan
pribadi, jangan ditarik ke mana-mana, tapi hubungan horizontal manusia
sebagai insan Tuhan itu yang harus dilihat, karena semua sama di
mataNya, yang berbeda hanya caranya.
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal.14, September 2005, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
[2] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, hal.475, 1981, Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya
[3] Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti Kekuasaan,
Majalah Basis no.01-02, tahun 51, bulan Januari-Febuari 2002.
http://sosiologiub.files.wordpress.com/2010/04/kekuasaan-melahirkan-anti-kekuasaan.pdf
[5] ibid
[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal.183, September 2005, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
[7] http://baehaqiarif.files.wordpress.com/2009/12/ilmu-ekonomi.pdf ( diakses pada tanggal 10-5-2012 jam 19:00 )
[8] http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/06/demokrasi-pancasila-demokrasi-liberal/ ( diakses pada tanggal 10-5-2012 jam 21:08 )
[9]
Isi Piagam Jakarta sebagai berikut: ( 1 )Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil
dan beradab ( 3 )Persatuan Indonesia ( 4 )Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan ( 5 )Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
[10] Sekarang menjadi Kementrian Agama
[11]http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2629/ ( diakses pada tanggal 10-05-2012 jam 22:06 )
[12] Untuk bacaan lebih lanjut, bisa membaca paper J.C.H Chai http://espace.library.uq.edu.au/eserv.php?pid=UQ:10480&dsID=ei_6_99.pdf
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Presiden_Indonesia ( diakses pada tanggal 10-05-2012 jam 22:31 )
[14] Benny G Soetiono, “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, hal.331 http://awan05.blogspot.com/2010/01/book-tionghoa-dalam-pusaran-politik.html ( diakses pada tanggal 13 Mei 2015 jam 10:15 )
[15] Saidiman Ahmad, “KeTuhanan Yang Berkebudayaan” http://islamlib.com/id/artikel/ketuhanan-yang-berkebudayaan ( diakses pada tanggal 13 Mei 2015 jam 12:14 )
[16] Loc.cit
[17] http://bimashindu.kemenag.go.id/sejarah-dan-kepemimpinan/ ( diakses pada tanggal 13-05-2012 jam 12:40 )
[18] Lih. Benny G Soetiono, “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, hal.642
[19] Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, hal.425, cet.IV, Januari 2010, Bogor : LPKAI “Cahaya Salam”
[20] Ibid, hal.429
[21] http://id.wikipedia.org/wiki/Riba ( diakses pada tanggal 13-05-2012 jam 13:11 )
[22] Benny G Soetiono, “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, hal.818
[23] Benny G Soetiono, “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, hal.825
[25] George J Aditjondro, “Orang-Orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku” , http://www.michr.net/orang-orang-jakarta-di-balik-tragedi-maluku.html ( diakses tanggal 13-05-2012 jam 14:31 )
0 Response to "AGAMA DAN POLITIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK "
Posting Komentar