loading...
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan, kebutuhan daging masyarakat juga semakin meningkat. Sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber penghasil daging yang potensial, memiliki nilai gizi tinggi dan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Berbagai jenis sapi potong yang dapat digunakan sebagai bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong diantaranya adalah sapi Limousin, Simmental, Brangus, Ongole, Brahman, Bali dan lain sebagainya. Keberhasilan usaha penggemukan ternak sapi potong dapat dicapai melalui manajemen pemeliharaan yang baik. Manajemen pemeliharaan tersebut meliputi manajemen pakan, perkandangan, reproduksi , maupun kesehatan.
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan, kebutuhan daging masyarakat juga semakin meningkat. Sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber penghasil daging yang potensial, memiliki nilai gizi tinggi dan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Berbagai jenis sapi potong yang dapat digunakan sebagai bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong diantaranya adalah sapi Limousin, Simmental, Brangus, Ongole, Brahman, Bali dan lain sebagainya. Keberhasilan usaha penggemukan ternak sapi potong dapat dicapai melalui manajemen pemeliharaan yang baik. Manajemen pemeliharaan tersebut meliputi manajemen pakan, perkandangan, reproduksi , maupun kesehatan.
Upaya untuk mencapai bobot badan yang optimal dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi adalah dengan memberikan pakan yang memenuhi kebutuhan gizi bagi ternak. Pakan ternak ruminansia terdiri atas hijauan, konsentrat dan pakan tambahan. Hijauan memiliki kandungan serat kasar lebih dari 18%, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar kurang dari 18%. Pemberian pakan dalam pemeliharaan ternak adalah untuk memenuhi kebutuhan ternak atau menunjang kelangsungan hidupnya, disamping didukung dengan kondisi lingkungan. Pemilihan bahan pakan dan cara penyajiannya sangat menentukan keberhasilan usaha penggemukan.
Pengadaan bibit, pemberian makanan, pemeliharaan, atau lain sebagainya belum menggunakan teknologi modern. Pemeliharaan sapi yang mereka lakukan hanyalah sebagai usaha sampingan saja. Perbaikan dan peningkatan produksi sapi potong memang tidak mudah karena menyangkut banyak faktor yaitu: pemilihan bibit atau bakalan (breeding), makanan yang baik (feeding), pengelolaan yang efisien (manajemen), penanganan terhadap penyakit dan juga hal-hal yang berkaitan dengan masalah pemasaran produksi. Unsur-unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan harus mutlak diusahakan sebagai pendukung untuk mencapai produksi yang maksimal.
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui tatalaksana atau manajemen pemeliharaan sapi potong
1.2.2 Mengetahui tatalaksana atau manajemen pemeliharaan sapi potong yang sesuai atau memenuhi kriteria yang baik.
1.3 Manfaat
1.3.1 Memahami tatalaksana atau manajemen pemeliharaan sapi potong
1.3.2 Memahami tatalaksana atau manajemen pemeliharaan sapi potong yang sesuai atau memenuhi kriteria yang baik.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 HASIL
A. IDENTITAS PETERNAK
a. Nama Peternak : Tohidin Umur : 46 tahun
b. Pendidikan : MAN
c. Anggota keluarga : 4 orang
d. Alamat rumah : RT 2 RW 6 Bnajaranyar Sokaraja
e. Pengalaman Beternak : 9 tahun
f. Tujuan beternak sapi : mengatasi penanganan limbah ; mengatasi masalah pakan ternak
g. Sistem pemeliharaan : Tradisional
h. Modal awal : 3-5 ekor sapi/ orang
i. Pencurahan jam kerja peternak dalam memelihara sapinya :
Deskripsi Jumlah
(ekor) PJK (jam/hr) Jumlah tenaga kerja (orang)
Menggembalakan - - -
Mencari hijauan/mengarit 3 ekor / orang 2-3 jam 10
Memberikan hijauan 2 kali/ hari 10
Memberikan konsentrat - 10
Memandikan 2-3 hari 10
Membersihkan kandang 1 hari 10
Mengobati 3-6 bulan sekali 1-2
Mengawinkan 30 menit 1
Menjaga keamanan Malam- pagi 2
B. DATA SEKUNDER
a. Luas desa : 2100 m2/150 hektar
b. Jumlah ternak : - ekor
c. Kelompok peternak : 1 orang
d. Tahun dibentuk : 2007
e. Jumlah anggota : 31 orang
C. IDENTITAS TERNAK
a. Bangsa yang dipelihara : Peranakan Ongole (PO (BX), Jabres, simmental.
b. Jumlah sapi yang dipelihara : - ekor
Klasifikasi ernak Sapi Ekor ST8
Pedet jantan 2 0,5
Anak betina5
Muda jantan6 2 1
Muda betina6
Dewasa jantan7
Dewasa betina7 13 13
Jumlah 17 14,5
Keterangan : 1). Umur > 3 tahun; 2) Umur 1-3 tahun; 3) Umur < 1 tahun;
4)Dewasa : 1 ST, muda : 0,5 ST, pedet : 0,25 ST
D. MANAJEMEN PENGADAAN BIBIT SAPI
a. Asal bibit sapi dibeli dari : Pasar/ peternak lain/ balai ternak*
b. Harga beli bibit : Rp 12.000.000,-
c. Cara memilih bibit jantan : Proporsional, gelambir panjang
d. Cara memilih bibit betina : Proporsional, moncong dan mata bagus
e. Tujuan pemeliharaan : Penggemukan dan pembibitan
f. Lama penggemukan : 3-4 bulan
E. MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN
a. Jenis hijauan yang diberikan : Jerami dan rumput gajah, rumput lapang
b. Asal hijauan : limbah pertanian sekitar
c. Bahan konsentrat adalah : pabrikan
d. Harga bahan konsentrat : Rp 3.200,- per kg
e. Pembelian hijauan : 30 kg/ hari/ ekor
f. Pemberian konsentrat : 3 kg/ hari/ ekor
g. Frekuensi pemberian hijauan : 2/3 kali/ hari
h. Frekuensi pemberian konsentrat : 2 kali/ hari
i. Cara penyajian hijauan : setelah konsentrat habis
j. Cara penyajian konsentrat : diberikan terlebih dahulu
k. Tempat pakan : di dalam
l. Asal sumber air minum : Sumur
m. Jumlah air minum : adlibitum
n. Frekuensi pemberian minum : -
F. MANAJEMEN PERKAWINAN
a. Metode perkawinan : Alami/ Inseminasi Buatan*
b. Biaya perkawinan : Rp 50.000,00
c. Pejantan yang digunakan : sewa
d. Umur pejantan : 3,5-4 tahun
e. Jika IB semen beku dari bangsa : PO/ simmental
f. Asal semen beku : Dinas
g. Umur pertama kawin, jantan : 3 tahun
h. Umur pertama kawin, betina : 24 bulan
i. Tanda-tanda birahi** : Gelisah, vulva bengkak, berlendir
j. Tanda betina akan melahirkan** : Nafsu makan turun, kaki
digaruk-garuk ke kandang
k. Kelahiran sering terjadi pada : kondisional
l. Proses kelahiran : mantri ternak
m. Umur sapih : 4-7 bulan
n. Cara penyapihan** : dijual
o. Jarak beranak : 17-19 bulan
G. MANAJEMEN PERKANDANGAN
a. Bahan – bahan kandang : Pasir, bambu, kayu, batu
Bata,semen , asbes
b. Jenis lantai kandang : semen
c. Jumlah kandang : 3 unit
d. Ukuran kandang : panjang 22,8 m, lebar 8,09 m,
luas 184,452 m2
e. Kepadatan kandang : 1 ekor/ m2
f. Sistem penggunaan kandang : individu
g. Jarak dengan pemukiman rakyat : 500 m
h. Biaya pembangunan kandang : Rp 168.000.000,00
i. Kemiringan lantai kandang2 : 1,3 derajat
j. Keiringan kandang2 : 8,3 derajat
k. Ukuran tempat pakan : panjang 2,55 m, lebar 8,51 m,
dalam 0,15 m
l. Tempat penyimpanan pakan : tersedia
m. Tempat penampung kotoran : tidak
n. Macam peralatan kandang : cangkul,arit, sorong, chopper, sekop
H. MANAJEMEN PEMELIHARAAN
a. Status kepemilikan ternak : Milik sendiri
b. Apakah sapi dimandikan : Ya, sehari 2-3 kali
c. Pengeluhan hidung : Ya, pada umur 24 bulan
d. Bahan untuk mengeluh : Tali tambang
e. Perawatan anak baru lahir : Dilap lendirnya
f. Penggembalaan sapi : tidak
g. Pemeliharaan jantan dan betina : Dicampur
h. Jenis usaha : Tradisional
i. Sifat usaha : kelompok
j. Tipe usaha : Sampingan
k. Ijin usaha : Ada
I. MANAJEMEN PENANGANAN KESEHATAN
a. Cara pencegahan penyakit** : Pemberian obat cacing, vaksin
b. Vaksinasi : Ya, biaya Rp 30.000/ ekor
c. Jenis vaksin : Biosalamin,
d. Kapan dilakukan vaksinasi : Umur 3-6 bulan
e. Kebersihan kandang : tiap hari
f. Sanitasi lingkungan kandang : dilakukan
g. Penyakit yang sering ditemui : Demam
h. Cara pengobatannya : Disuntik
i. Pengobatan secara medis : mantri hewan
j. Biaya pengobatan : RP 40.000,00
k. Obat yang selalu disediakan : dovenils , biosalamin, hematopan
J. MANAJEMEN PEMASARAN SAPI DAN PUPUK KANDANG
a. Bentuk penjualan ternak : sapihan, dewasa
b. Kapan waktu dijual : hari raya
c. Hasil penjualan : marobathi
d. Alasan ternak dijual : mendapatkan keuntungan
e. Tempat penjualan : Pembeli datang ke
peternak
f. Jika dijual ke pasar, biaya transportasi: Rp 50.000,- per ekor
g. Cara penjualan : Sendiri
h. Penjualan pupuk kandang : Ya
i. Kotoran sapi dibuat kompos : Tidak
2.2 PEMBAHASAN
2.2.1 MANAJEMEN PENGADAAN BIBIT SAPI
Dalam rangka penyediaan sapi potong dan menjamin keberlanjutannya maka dibutuhkan ketersediaan bibit sapi potong yang berkualitas secara berkesinambungan. Bibit merupakan salah satu faktor yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya pengembangan sapi potong. Kemampuan penyediaan atau produksi bibit sapi potong dalam negeri masih perlu ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Untuk itu maka dibutuhkan partisipasi dan kerjasama antara pemerintah, masyarakat peternak dan stakeholders terkait. Bibit yang digunakan untuk pembibitan sapi potong harus memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Ditjennak,2014).
Keterampilan dalam memilih bibit (sapi bakalan) merupakan langkah awal yang sangat menentukan dalam suatu usaha penggemukan sapi potong. Menurut Syafrial (2007) menyatakan bahwa pemilihan bakalan untuk tujuan penggemukan harus memperhatikan bangsa sapi, jenis kelamin, umur, kondisi awal sapi, dan breed character yang baik. Seleksi bibit sapi potong dilakukan berdasarkan performan anak dan individu calon bibit sapi potong, dengan mempergunakan kriteria seleksi sebagai berikut: a. Sapi Induk 1) sapi induk harus dapat menghasilkan anak secara teratur; 2) dapat melahirkan anak tidak cacat dan mempunyai rasio bobot sapih umur 205 hari (weaning weight ratio) di atas rata-rata dari kelompoknya. b. Calon Pejantan 1) bobot sapih umur 205 hari terkoreksi terhadap umur induk dan musim kelahiran, di atas rata-rata dari kelompoknya; 2) bobot badan umur 365 hari di atas rata-rata; 3) pertambahan bobot badan umur 2 tahun di atas rata-rata; 4) libido dan kualitas sperma baik; 5) penampilan fenotipe sesuai dengan rumpunnya. c. Calon Induk 1) bobot sapih umur 205 hari terkoreksi terhadap umur induk dan musim kelahiran, di atas rata-rata dari kelompoknya; 2) bobot badan umur 365 hari di atas rata-rata; 3) penampilan fenotipe sesuai dengan rumpunnya (Ditjennak,2014).
2.2.2 MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN
Pakan merupakan salah satu unsur penting yang menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak. Pakan yang baik akan membuat ternak sanggup menjalankan fungsi proses dalam tubuh ternak secara normal. Tujuan utama pemberian pakan adalah menjamin pertambahan serta menjamin produksi yang paling ekonomis. Selain itu pemberian pakan dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan ternak yang bersangkutan sesuai dengan tingkat produksi yang diinginkan. Bila ditinjau dari segi ekonomisnya, total biaya yang diinvestasikan dalam usaha peternakan sebanyak 60% sampai 70% digunakan untuk biaya pakan (Anggorodi, 1974).
Pemberian pakan perlu diperhatikan kandungan nutrisi berupa protein, vitamin, mineral, dan serat kasar yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi fisioliogis ternak sebagai berikut. Pemberian pakan dengan pemeliharaan sistem ekstensif/ pastura (digembalakan), yaitu sapi dilepas di padang rumput, biasanya dilakukan di daerah yang mempunyai tempat pengembalaan cukup luas, dan memerlukan waktu rata-rata 5-7 jam per hari. Dengan cara ini maka tidak memerlukan ransum tambahan pakan penguat karena sapi telah memakan bermacam jenis rumput. Pemberian pakan dengan pemeliharaan sistem intensif/ semi intensif, yaitu sapi dikandangkan setiap hari dengan diberikan pakan rata-rata 10% dari berat badan dan pakan tambahan 1-2% dari berat badan. Pakan tambahan dapat berupa dedak halus, bekatul, bungkil kelapa, gaplek, ampas tahu yang diberikan dengan cara mencampurkan dalam rumput, selain itu dapat juga ditambahkan mineral sebagai penguat berupa garam dapur dan kapur ( Ditjennak, 2014).
2.2.3 MANAJEMEN PERKAWINAN
Upaya
memperoleh bibit yang sesuai standar, teknik perkawinan dapat dilakukan
dengan cara kawin alam atau Inseminasi Buatan (IB). a. pada kawin alam
rasio jantan betina diusahakan 1:15–20 ekor; b. perkawinan dengan IB
memakai semen beku sesuai SNI atau semen cair dari pejantan yang sudah
teruji kualitasnya dan dinyatakan bebas dari penyakit hewan menular; c.
dalam pelaksanaan kawin alam atau IB harus dilakukan pengaturan
penggunaan pejantan atau semen untuk menghindari terjadi perkawinan sedarah (inbreeding) (Ditjennak, 2014).
Namun dalam usaha ternak sapi potong rakyat masih sering muncul beberapa
permasalahan, diantaranya masih terjadi kawin berulang (S/C > 2) dan
rendahnya angka kebuntingan (< 60 %) sehingga menyebabkan panjangnya
jarak beranak pada induk (calving interval > 18 bulan) (Affandhy et
al., 2006); yang akan berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi
sapi per tahun dan berakibat terjadi penurunan income petani dari usaha
ternak. Salah satu faktor penyebab rendahnya perkembangan populasi sapi
adalah manajemen perkawinan yang tidak tepat, yakni: (1) pola
perkawinan yang kurang benar, (2) pengamatan birahi dan waktu kawin
tidak tepat, (3) rendahnya kualitas atau kurang tepatnya pemanfaatan
pejantan dalam kawin alam dan (4) kurang terampilnya beberapa petugas
serta (5) rendahnya pengetahuan peternak tentang kawin suntik/IB. Pola
perkawinan menggunakan pejantan alam, petani mengalami kesulitan
memperoleh pejantan, apalagi yang berkualitas, sehingga pedet yang
dihasilkan bermutu jelek, bahkan berindikasi adanya kawin keluarga
(inbreeding) terutama pada wilayah pengembalaan di Indonesia Bagian
Timur.
Penurunan efisiensi reproduksi dipengaruhi juga oleh factor manajemen perkawinan yang tidak sesuai dengan kondisi dan lingkungan sekitarnya, sehinggga terindikasi terjadinya kawin yang berulang pada induk sapi potong di tingkat usaha ternak rakyat yang menyebabkan rendahnya keberhasilan kebuntingan dan panjangnya jarak beranak. Diperlukan suatu cara atau teknik manajemen perkawinan yang tepat sesuai dengan kehendak petani dengan berdasar pada potensi atau kehidupan sosial masyarakat pedesaan, yakni teknik kawin suntik dengan IB beku, cair dan pejantan alami yang mantap dan berkesinambungan. Menurut Affandy (2007) Teknik manajemen perkawinan sapi potong dapat dilakukan dengan menggunakan (1) Intensifikasi kawin alam (IKA) dengan pejantan terpilih, (2) teknik inseminasi buatan (IB) dengan semen beku (frozen semen) dan teknik IB dengan semen cair (chilled semen).
1.Intensifikasi kawin alam (IKA) Upaya peningkatan populasi ternak sapi dapat dilakukan dengan intensifikasi kawin alam melalui distribusi pejantan unggul terseleksi dari bangsa sapi lokal atau impor dengan empat manajemen perkawinan, yakni: (1) perkawinan model kandang individu, (2) perkawinan model kandang kelompok/umbaran, (3) perkawinan model rench (paddock) dan (4) perkawinan model padang pengembalaan (angonan). Pejantan yang digunakan berasal dari hasil seleksi sederhana, yaitu berdasarkan penilaian performans tubuh dan kualitas semen yang baik, berumur lebih dari dua tahun dan bebas dari penyakit reproduksi (Brucellosis, Leptospirosis, IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis) dan EBL (Enzootic Bovine Leucosis). Untuk seleksi induk diharapkan memiliki deskriptif sebagai berikut: 1) induk dereman/manaan (nahunan), yakni dapat beranak setiap tahun, 2) skor kondisi tubuh 5-7 3) badan tegap, sehat dan tidak cacat, 4) tulang pinggul dan ambing besar, lubang pusar agak dalam dan 5) Tinggi gumba > 135 cm dengan bobot badan > 300 kg.
2. Teknik kawin IB dengan semen beku Teknologi IB menggunakan semen beku pada sapi potong telah digunakan sejak belasan tahun silam dengan tujuan untuk Sapi Bali dan PO diangon dekat perkebunan kopi di Lampung meningkatkan kualitas dan kuantitas ternak sapi melalui penggunaan pejantan pilihan dan menghindari penularan penyakit atau kawin sedarah (inbreeding). Selama ini pelaksanaan teknologi IB di lapangan masih mengalami beberapa hambatan, antara lain S/C > 2 dan angka kebuntingan ≤ 60% (Affandhy et al., 2006), sehingga untuk meningkatkan populasi dan mutu sapi potong serta guna memperluas penyebaran bakalan sapi potong, diperlukan suatu petunjuk praktis tentang manajemen IB mengunakan semen beku mulai dari penanganan ketika straw beku dalam kontener hingga akan disuntikan/Idi-IB-kan ke sapi induk, termasuk cara thawing dan waktu IB; dengan harapan dapat memperbaiki manajemen perkawnan melalui pelaksanaan IB yang selama ini sering menimbulkan permasalahan di tingkat peternak maupun inseminator. Dengan adanya petunjuk tentang manajemen IB diharapkan dapat menambah tingkat keterampilan inseminator dan pengalaman peternak sehinggga tingkat kebuntingan ternak dapat dicapai secara optimal dan tahapan teknik ini perlu diinformasikan kepada pengguna seperti petani peternak, inseminator dan kelompok peternak. Tahapan teknik manajemen IB dengan menggunakan semen beku yang perlu dilakukan meliputi: (1) penanganan semen beku dalam kontener, (2) cara thawing dan waktu IB dan (3) pelaksanan IB di lapang.
3.Teknik kawin IB dengan semen cair Teknolgi alternatif yang dapat digunakan untuk prosesing semen sapi potong dalam membantu pengembangan program IB secara cepat dan mudah dikerjakan di lapang, secara industri maupun kelompok (cooperate farming) dapat menggunakan teknologi semen cair (chilled semen). Teknolgi semen cair dapat dibuat dengan bahan pengencer dan peralatan yang sederhana serta mudah diperoleh. Bahan pengencer dapat berasal dari air kelapa muda atau tris-sitrat dengan. Cara pasang dan masukkan gun (Boothby and Fahey,1995 dan Affandhy et al 2004c) kuning telur ayam dan dapat disimpan di dalam cooler/kulkas dengan suhu 5oC selama 7-10 hari. Hasil penelitian uji semen cair di lapang oleh staf peneliti Lolit Sapi Potong menunjukkan nilai post thawing motility (PTM) > 40 % dengan service/conception (S/C) < 1,5 dan tingkat kebuntingan (conception rate/CR) >70 %. Semen cair (chilled semen) pada sapi potong merupakan campuran antara cairan semen
dengan spermatozoa dalam bentuk segar yang ditampung menggunakan vagina buatan ; selanjutnya ditambahkan larutan pengencer tertentu (air kelapa dan kuning telur) sebagai bahan energi/daya hidup spermatozoa. Semen cair ini dapat disimpan atau dapat langsung digunakan pada sapi potong atau jenis sapi lainnya melalui kawin suntik (inseminasi buatan/IB). Hasil uji coba pada peternak di daerah kabupaten Pasuruan (kecamatan Wonorejo dan Nguling) mencapai angka kebuntingan hingga di atas 70 % dan jumlah kawin sampai bunting (service per conception) sebesar 1-2 kali dengan biaya pembuatan semen cair dalam straw sebesar Rp 200.000,- per 100 straw (Rp 2.000,-/straw) (Affandhy, 2003; Affandhy et al., 2004). Selama ini pelaksanaan teknologi IB di lapangan masih mengalami
hambatan, S/C, angka kebuntingan dan mahalnya biaya operasional (Yusran et al., 2001; Affandhy et al., 2002; Affandhy et al., 2003), sehingga teknologi alternatif ini diperlukan guna meningkatkan populasi dan mutu sapi potong serta merupakan terobosan baru untuk memanfaatkan keberadaan sapi jantan unggul di setiap wilayah perbibitan sapi potong yang akhirnya akan memperluas penyebaran bakalan sapi potong. Penanganan manajemen IB dengan semen cair meliputi: (1) Cara menyimpanan semen cair pada suhu dingin, (2) pelaksanaan IB di lapang.
2.2.4 MANAJEMEN PERKANDANGAN SAPI POTONG
Menurut Rasyid (2007) beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kandang untuk sapi potong antara lain dari segi teknis, ekonomis, kesehatan kandang (ventilasi kandang, pembuangan kotoran), efisien pengelolaan dan kesehatan lingkungan sekitarnya.
1.Lokasi
Beberapa pertimbangan dalam pemilihan lokasi kandang antara lain : Tersedianya sumber air, terutama untuk minum, memandikan ternak dan membersihkan kandang; Dekat dengan sumber pakan; Transportasi mudah, terutama untuk pengadaan pakan dan pemasaran ; Areal yang ada dapat diperluas.
2.Letak bangunan
Mempunyai permukaan yang lebih tinggi dengan kondisi sekelilingnya, sehingga idak terjadi genangan air dan pembuangan kotoran lebih mudah; Tidak berdekatan dengan bangunan umum atau perumahan, minimal 10 meter ; Tidak menggangu kesehatan lingkungan ; Agak jauh dengan jalan umum ; Air limbah tersalur dengan baik.
3.Konstruksi
Konstruksi kandang harus kuat, mudah dibersihkan, mempunyai sirkulasi udara yang baik, tidak lembab dan mempunyai tempat penampungan kotoran beserta saluran drainasenya. Kontruksi kandang harus mampu menahan beban benturan dan dorongan yang kuat dari ternak. serta menjaga keamanan ternak dari pencurian. Penataan kandang dengan perlengkapannya hendaknya dapat memberikan kenyamanan pada ternak serta memudahkan kerja bagi petugas dalam memberi pakan dan minum, pembuangan kotoran dan penanganan kesehatan ternak. Model kandang sapi potong didataran tinggi, diupayakan lebih tertutup untuk melindungi ternak dari cuaca yang dingin, sedangkan untuk dataran rendah kebalikannya yaitu bentuk kandang yang lebih terbuka. Tipe dan bentuk kandang dibedakan berdasar status fisiologis dan pola pemeliharaan dibedakan yaitu kandang
pembibitan, penggemukan, pembesaran, kandang beranak/menyusui, kandang pejantan, kandang paksa,.
4. Bahan
Dalam pemilihan bahan kandang hendaknya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan tujuan usaha untuk jangka panjang, menengah atau pendek. Pemilihaan bahan kandang hendaknya minimal tahan untuk jangka waktu 5 –10 tahun, dengan memanfaatkan dari bahan-bahan lokal yang banyak tersedia. Bagian-bagian dan bahan kandang yaitu :
a. Lantai Lantai kandang harus kuat, tahan lama, tidak licin dan tidak terlalu kasar, mudah dibersihkan dan mampu menopang beban yang ada diatasnya. Lantai kandang dapat berupa tanah yang dipadatkan, beton atau pasir cemen (PC) dan kayu yang kedap air. Berdasarkan kondisi alas lantai, dibedakan lantai kandang sistem litter dan non litter. Alas lantai kandang sistem litter merupakan lantai kandang yang diberi tambahan berupa serbuk gergaji atau sekam, dan bahan lainnya berupa kapur/dolomite sebagai dasar alas. Alas lantai kandang sistem non litter merupakan lantai kandang tanpa mendapat tambahan apapun. Model alas kandang ini lebih tepat untuk ternak yang dipelihara pada kandang tunggal atau kandang individu. Kandang sistem non litter beserta ternaknya akan tampak lebih bersih dibanding sistem litter, karena secara rutin dilakukan kegiatan memandikan sapi dan pembuangan kotoran feces. Lantai kandang harus selalu terjaga drainasenya, sehingga untuk lantai kandang non litter dibuat miring kebelakang untuk memudahkan pembuangan kotoran dan menjaga kondisi lantai tetap kering. Kemiringan lantai berkisar antara 2 – 5 %, artinya setiap panjang lantai 1 meter maka ketinggian lantai bagian belakang menurun sebesar 2 – 5 cm.
b. Kerangka
Dapat terbuat dari bahan besi, besi beton, kayu dan bambu disesuaikan dengan tujuan dan kondisi yang ada
c Atap
Terbuat dari bahan genteng, seng, rumbia, asbes dan lainlain. Untuk daerah panas (dataran rendah) sebaiknya mengunakan bahan genting sebagai atap kandang. Kemiringan atap untuk bahan genting adalah 30 – 45 % , asbes atau seng sebesar 15 – 20 % dan rumbia atau alang-alang sebesar 25 – 30 %, Ketinggian atap untuk dataran rendah 3,5 – 4,5 meter dan dataran tinggi 2,5 – 3,5 meter Bentuk dan model atap kandang hendaknya menghasilkan sirkulasi udara yang baik di dalam kandang, sehingga kondisi lingkungan dalam kandang memberikan kenyamanan ternak.
Berdasarkan bentuk atap kandang, beberapa model atap yaitu atap monitor, semi monitor, gable dan shade. Model atap untuk daerah dataran tinggi hendaknya menggunakan shade atau gable, sedangkan untuk dataran rendah adalah monitor atau semi monitor. Model atap monitor, semi monitor dan gable model kandang yang mempunyai atap dua bidang , sedangkan shade mempunyai atap satu bidang.
2.2.5 MANAJEMEN PEMELIHARAAN Sistem pemeliharaan pembibitan sapi potong dapat dilakukan melalui pemeliharaan ekstensif/pastura (digembalakan), intensif dan/atau semi intensif.
1.Pemeliharaan dengan Sistem Ekstensif/Pastura
Pada sistem ini pemeliharaan induk dengan anak dilakukan secara bersamaan (cow calf operation), setelah anaknya disapih, induk dimasukkan dalam paddock perkawinan, dan anak dikelompokkan berdasarkan berat badan dan umur sesuai dengan jenis kelamin dan rumpun.
a. Pemeliharaan Pedet
1) pedet dibiarkan selalu bersama induknya sampai umur lepas sapih;
2)
pemberian kolustrum dan susu atau bahan cair lain sebanyak 10% dari
berat badan;
3) penimbangan berat badan, dan pengukuran tinggi gumba, lingkar dada, panjang badan, dan tinggi pinggul dilakukan pada saat lahir dan disapih.
3) penimbangan berat badan, dan pengukuran tinggi gumba, lingkar dada, panjang badan, dan tinggi pinggul dilakukan pada saat lahir dan disapih.
b. Pemeliharaan Sapi Dara dan remaja (Muda)
1) sapi ditempatkan di paddock berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan rumpun; 2) bagi sapi dara siap kawin ditempatkan pada paddock khusus untuk perkawinan; 3) kapasitas tampung pastura 1–2 ekor/hektar (tergantung kondisi pastura)
c.Pemeliharaan Induk dan Calon Induk
1) induk dan calon induk ditempatkan pada satu paddock; 2) diberikan pakan dan vitamin/mineral tambahan; 3) perkawinan dilakukan dengan cara kawin alam dengan cara memasukan pejantan yang telah diberi penanda perkawinan dengan perbandingan pejantan dan betina 1:15-20; 4) pejantan7777777U ditempatkan di dalam paddock kelompok betina selama 3 bulan dan identitas pejantan dicatat; 5) pengawasan dan pemeriksaan kebuntingan dilakukan untuk memisahkan ternak yang menunjukan kebuntingan dan mengeluarkannya pada paddock terpisah;
6) induk yang tidak bunting setelah 2 kali masa pemeriksaan kebuntingan dipisahkan untuk mendapatkan penanganan gangguan reproduksi; 7) induk yang tidak bunting setelah 3 kali masa pemeriksaan kebuntingan dilakukan pengafkiran untuk dijadikan ternak potong.
d. Pemeliharaan Sapi Bunting
1) sapi bunting ditempatkan pada paddock terpisah, diberi pakan dan vitamin/mineral tambahan;2) pengawasan dilakukan untuk penanganan sapi dengan memperlihatkan tanda-tanda akan melahirkan; 3) penanganan kelahiran:
a) apabila terlihat gejala kesulitan beranak, segera minta bantuan %555J0LJ0;LY6JJO8KI UHcvartus, tanggal melahirkan, dan status kelahiran. c) dilakukan pencatatan anak: tanggal lahir, berat lahir, tinggi pundak (gumba), panjang badan, lingkar dada dan silsilah.
e. Pemeliharaan Calon Pejantan
1) sapi calon pejantan dikelompokkan pada paddock tersendiri berdasarkan umur dan berat badan; 2) diberikan pakan dan vitamin/mineral tambahan.
f. Pemeliharaan Pejantan
1) ditempatkan padapaddocktersendiri agar kondisinya terjaga; 2) pemberian pakan konsentrat sesuai dengan SNI No. 3148.2:2009 agar dapat menghasilkan sperma dengan kualitas baik; 3) pejantan yang sedang digunakan untuk kawin alam dipantau kesehatannya, dan segera dikeluarkan dari paddock apabila menunjukkan kelemahan untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut; 4) dimandikan dan kontrol kesehatan; 5) penggunaan pejantan dalam perkawinan perlu diatur agar tidak mengawini keturunannya.
1. Pemeliharaan dengan Sistem Intensif atau Semi Intensif
a. Pemeliharaan dan Perawatan Pedet Pemeliharaan dan perawatan pedet pada saat kelahiran sebagai berikut: 1) bersihkan lendir dari mulut, lubang hidung dan bagian lainnya, agar pedet dapat bernafas dengan baik; 2) tali pusar dipotong 10 cm dari pangkal talinya dan diberi antiseptik; 3) dilakukan pemantauan kondisi pedet apabila lebih kurang tiga puluh menit sesudah lahir pedet belum dapat berjalan dan menyusu, maka harus dibantu; 4) apabila induk tidak dapat menyusui maka pedet diberi susu dari induk yang lain atau susu pengganti; 5) pedet diberi air susu (kolostrum) dalam minggu pertama; 6) tempat pedet berbaring harus diberi alas yang bersih dan hangat; 7) dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran tinggi pundak (gumba), lingkar dada, panjang badan, setelah pedet mampu berdiri sendiri (dalam waktu 24 jam setelah lahir) dan pemberian identitas; 8) pedet dibiarkan bersama induk sampai pedet disapih kira-kira sampai umur 205 hari.
b. Pemeliharaan dan Perawatan Sapi Dara dan Muda
1) setelah sapi disapih umur 205 hari, dapat dilakukan pengeluhan (ring nose) agar sapi mudah dikendalikan dalam penanganan; 2) ditempatkan dalam kandang berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan rumpun; 3) pemberian pakan sesuai dengan standar.
c. Pemeliharaan dan Perawatan Calon Induk
1) ditempatkan dalam kandang tersendiri berdasarkan kelompok umur dan rumpun; 2) pemberian pakan sesuai dengan standar; 3) dikawinkan pada birahi ke dua dengan umur dan berat badan yang memenuhi syarat untuk dikawinkan sesuai rumpunnya; 4) perkawinan dianjurkan dengan cara inseminasi buatan (IB) atau dapat pula dilakukan kawin alam, serta pencatatan kode semen dan pejantan yang
digunakan harus dilakukan; 5) apabila perkawinan IB dua kali gagal, dianjurkan kawin alam.
d. Pemeliharaan dan Perawatan Induk Bunting
1) sapi yang sedang bunting harus dipisahkan dari sapi lainnya; 2) untuk memudahkan pemeliharaan dan perawatan, induk bunting dikelompokkan dalam tiga fase yakni: a) bunting muda (1-5 bulan) diberikan pakan yang memenuhi kebutuhan nutrisi; b) bunting tua (>5-8 bulan) kuantitas dan kualitas pakan sesuai kebutuhan dan penambahan energy di dalam pakan; c) menjelang beranak (>8 bulan) kuantitas dan kualitas pakan sesuai kebutuhan campuran dari 2-3 kg konsentrat dengan 4-6 kg dedak padi/ jagung (1 kg kulit kopi dan hijauan segar atau jerami padi kering), induk dimasukkan ke dalam kandang melahirkan yang kering dan terang serta exercise harus dilakukan.
e. Pemeliharaan dan Perawatan Induk Melahirkan
1) apabila terlihat gejala akan melahirkan, dilakukan pengawasan secara intensif; 2) jika mengalami kesulitan beranak, segera minta pertolongan pada petugas medis; 3) hijauan pakan dan konsentrat diberikan lebih dari kebutuhan pokok, agar dapat mempercepat proses perbaikan kesehatan.
f. Pemeliharaan Calon Pejantan dan Pejantan
1) ditempatkan pada kandang khusus secara tersendiri agar kondisinya terjaga; 2) agar dapat menghasilkan sperma dengan kualitas baik, pejantan diberi pakan khusus; 3) pejantan yang sedang digunakan untuk kawin alam dipantau kesehatannya, dan segera dikeluarkan dari kandang apabila menunjukkan kelemahan untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut; 4) penggunaan pejantan dalam perkawinan perlu diatur agar tidak mengawini anaknya (Ditjennak, 2014).
2.2.6 MANAJEMEN PENANGANAN KESEHATAN
Untuk memperoleh hasil yang baik dalam pembibitan sapi potong harus memperhatikan kaidah kesehatan hewan yang meliputi:
A. Situasi Penyakit hewan
1.pembibitan sapi potong harus terletak di daerah yang tidak terdapat gejala klinis atau bukti lain tentang penyakit radang limpa (Anthrax), dan keluron menular (Brucellosis); 2. dalam hal pembibitan dilakukan di daerah endemis Anthrax, Brucellosis dan SE, kegiatan vaksinasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang perundangan.
B. Pencegahan Penyakit hewan
1. melakukan vaksinasi dan pengujian/tes laboratorium terhadap penyakit hewan menular tertentu yang ditetapkan oleh instansi berwenang; 2. mencatat setiap pelaksanaan vaksinasi dan jenis vaksin yang dipakai dalam kartu kesehatan ternak;
3. melaporkan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat terhadap kemungkinan timbulnya kasus penyakit, terutama yang diduga/dianggap sebagai penyakit hewan menular; 4. pemotongan kuku dilakukan apabila diperlukan; 5. pemberian obat cacing dilakukan secara rutin 3 (tiga) kali dalam setahun; 6. pakan yang diberikan tidak mengandung bahan pakan yang berupa darah, daging dan/atau tulang.
C. Pelaksanaan Biosecurity
Dalam rangka pelaksanaan kesehatan hewan, setiap pembibitan sapi potong harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. lokasi usaha tidak mudah dimasuki binatang liar dan bebas dari hewan peliharaan lainnya yang dapat menularkan penyakit; 2. melakukan desinfeksi kandang dan peralatan dengan menyemprotkan desinfektan; 3. melakukan penyemprotan insektisida pembasmi serangga, lalat, dan hama lainnya di sekitar kandang ternak; 4. untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari satu kelompok ternak ke kelompok ternak lainnya, pelayanan dilakukan mulai dari ternak yang sehat ke ternak yang sakit; 5. menjaga agar tidak setiap orang dapat bebas keluar masuk kandang ternak yang memungkinkan terjadinya penularan penyakit; 6. membakar atau mengubur bangkai ternak yang mati karena penyakit menular; 7. menyediakan fasilitas desinfeksi untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu di pintu masuk perusahaan; 8. segera mengeluarkan ternak yang mati dari kandang untuk dikubur atau dimusnahkan; 9. mengeluarkan ternak yang sakit dari kandang untuk segera diobati atau dipotong.
III. KESIMPULAN
3.1 Bibit yang baik memiliki badan yang proporsional, mata cerah, kaki kuat, bulu halus
3.2 Metode perkawinan adalah secara alami
3.3 Model kandang sapi lemprakan
3.4 Manajemen kesehatan dilakukan vaksinasi
DAFTAR PUSTAKA
Affandhy,L., P. Situmorang, D.B. Wijono, Aryogi dan P.W. Prihandini.
2002. Evaluasi dan alternatif pengelolaan reproduksi usaha
ternak sapi potong pada konsisi lapang. Laporan Penelitian.
Loka Penelitian Sapi Potong.
Affandhy,L., D. Pamungkas. A. Rasyid dan P. Situmorang. 2003. Uji
fertilitas semen cair dan beku pada pejantan sapi potong
lapang. Laporan Penelitian. Loka Penelitian Sapi Potong.
Affandhy,L. 2003. Pengaruh penambahan cholesterol dan kuning telur
di dalam bahan pengencer tris-sitrat dan air kelapa muda
terhadap kualitas semen cair sapi potong. Dalam: Pros.
Seminar Nasional. Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Puslitbang Peternakan Bogor: 77-84.
Affandhy,L., D. Pamungkas dan D.B Wijono. 2004a. Optimasi
penggunaan semen cair melalui suplementasi mineral Zn dan
vitamin E pada spi PO dalam kondisi usaha peternakan rakyat.
Sem. Nas. Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran Serta
Stakeholder Dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi, 28
September 2005. kerjasama PSE dan BPTP Bali.
Ainur, R dan Hartati. 2007. Petunjuk Teknis Perkandangan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pasuruan.
Anggorodi, H. R. 1994. Ilmu Makanan Ternak. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Ditjennak.2014. Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik. Kementerian Pertanian. Jakarta.
0 Response to "MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI POTONG"
Posting Komentar